Saturday 21 November 2015

DINDING YANG BERBICARA



               
Aku melirik coretan-coretan pena di kertas-kertas kecil yang ditempel di dinding kamarku. Semacam reminder untukku tetapi saking banyaknya membuat dinding kamarku kotor dengan perekat.
1  Nopember bayar kontrak rumah,
5 Nop bayar listrik dan air, 10 Nop bayar iuran sekolah Rayi dan Rana,
12 Nop bayar tunggakan meja,
15 Nop bayar tunggakan buku sekolah Farid
Dan 5 lagi tunggakan lainnya yang menghiasi dinding kamarku.
Rasanya aku ingin menangis sekeras-kerasnya menumpahkan kesedihan bercampur kekesalan di hati ini. Sedih, karena aku sepertinya tidak bisa memenuhi kewajibanku sebagai orang tua yang bisa memenuhi kebutuhan anak-anakku. Kesal, karena semua kekacauan yang terjadi mungkin atas kesalahanku dan suamiku yang tidak mampu mengontrol ego masing-masing. Parahnya lagi, sampai saat ini aku tidak bisa mencari solusi terbaik untuk semua masalah ini.
          Aku membelai lembut kepala mungil Rayi dan Rana. Diujung tempat tidurku, Rara, anak ketigaku yang mulai remaja juga sudah terlelap kecapaian. Sepulang sekolah, dia harus membuat kue-kue untuk dijual di toko neneknya supaya bisa mendapat uang untuk membantu keuangan rumah tanggaku yang tidak sempurna ini.
Sejak aku pindah ke rumah kontrakan kecil ini aku tidur sekamar dengan mereka. Dan Farid, anak bujangku, karena sudah remaja tidur di kamarnya sendiri. Dua anakku yang masih kecil ini tidak
tahu masalah yang kuhadapi dengan ayah mereka. Mereka masih sering menanyakan kemana gerangan ayahnya pergi. Aku sudah terbiasa menjelaskan pada mereka bahwa ayahnya sibuk bekerja di kota lain. Ya, aku membangun kebohongan di depan mereka, bahkan dihiasi senyuman agar meyakinkan dan tidak membuat mereka sedih. Biasanya hanya Rara, anak gadisku no 2 yang tahun ini akan masuk SMA, yang menjadi tempat curahan kegundahan hatiku. Hampir tidak ada yang kusembunyikan darinya. Sedangkan Farid, walaupun dia anakku yang paling besar, tapi aku sering merasa ditinggalkan oleh dia. Mungkin dia kecewa atas perpisahanku dengan suamiku. Dia kecewa dengan pertengkaran demi pertengkaran yang terjadi di hadapan dia di sela-sela malam yang sunyi sekalipun. Diapun kecewa ketika akhirnya suamiku pergi untuk bekerja di kota lain untuk menghindari pertengkaran yang semakin hebat denganku. Terkadang aku merasa disalahkan olehnya karena semua kekacauan ini. Aku yang kurang sabar, aku yang terlalu cerewet, aku yang terlalu menuntut dan masih banyak lagi hal yang dia sematkan pada diriku sebagai bentuk pembangkangannya ketika aku menasehatinya untuk hal-hal kecil sebagai ibunya.
Aku hanya seorang guru komite dari sebuah SMP yang berlokasi nun jauh di sana, di pelosok Riau. Sangat terpelosoknya sehingga banyak orang tidak mengenali sekolah tempatku mengajar dan bertanya, dimana sih itu SMP Negeri 11 itu? Sekolah itu memang cukup terpencil, berada di antara perkebunan sawit di pedalaman Riau. Hampir 50% anak-anak yang bersekolah di situ adalah anak-anak suku pedalaman Sakai sehingga makin menambah beban beratnya mengajar bagiku. Aku harus berjibaku tidak hanya dengan materi sekolah tetapi juga terkadang bertengkar dengan orang tua murid agar mereka sadar betapa pentingnya pendidikan untuk anak-anak mereka.  Kebanyakan dari mereka masih berfikiran sempit; untuk apa sekolah katanya, toh setelah lulus juga gak dapat kerja! Mending bantu orang tua di kebun sawit. Jangan tanya berapa gajiku per bulan dari mengajar. Pasti tidak ada seorangpun yang mau tahu karena setelah kuberi tahu pasti akan timbul rasa kasihan terhadapku. Kok bisa ya dengan gaji segitu menghidupi 4 anak? Aku hanya tersenyum menghadapi pertanyaan seperti itu untuk menunjukkan bahwa aku masih kuat dan belum kalah. Sedih dan pedih!
Kutatap langit-langit kamarku yang mulai menghitam karena sudah lama tidak disentuh cat warna. Ya, aku menyewa rumah yang sangat murah sehingga keadaannyapun seadanya; lantai semen, tanpa perabotan dan cat dinding yang pudar bahkan di beberapa bagian semen pelesternya sudah mengelupas sehingga tampak susunan batu bata yang mendirikan bangunan rumah ini. Tapi masih untung rumah ini punya sumber air yang bagus. Sebuah sumur gali dibuat di halaman belakang rumah ini dengan debit air yang cukup dan jernih. Di daerah sini adalah suatu hal yang susah mendapatkan sumber air bersih. Maklum disini daerah ladang minyak bumi, sehingga menemukan minyak lebih mudah dibanding menemukan air bersih. Biasanya sumur warga kotor terkena rembesan minyak bumi dari akifer sekitarnya. Walaupun kalau di musim kemarau, ya sama saja dengan para tetangga, airnya surut sehingga aku dan anak-anak harus mandi dan mencuci pakaian ke kamar mandi umum yang disediakan oleh perusahaan minyak itu untuk warga sekitar.
Detak jam dinding terdengar keras di malam yang sepi ini. Bunyinya seirama bersahutan dengan degup jantungku yang mengisyaratkan kegelisahan hati ini. Pikiranku menerawang seakan jarum jam itu bergerak mundur ke arah sebaliknya. Masih kuingat saat-saat bahagia itu. Indah…ataukah keindahan yang semu? Selepas lulus kuliah aku langsung menerima lamaran seorang pemuda yang ternyata masih saudara jauhku. Almarhum ayahku yang begitu antusias menerima lamaran pemuda itu dengan alasan dia pemuda yang baik dan hidupnya sudah mapan.
“Jangan menolak lamaran orang baik, Hen. Dia baik dan sudah mapan lagi. Mau cari yang gimana lagi, udah terima saja”, itu nasehat ayahku yang masih kuingat.
Tanpa banyak berargumen, akupun setuju dengan ayahku. Aku memang bukan tipe wanita yang pelik untuk urusan cinta. Betul kata ayah, kalau ada yang baik, mapan secara ekonomi….ditambah ganteng pula, ya sudah nikah saja. Semuanya berjalan alami begitu saja. Aku mengikuti aliran sungai dengan bahtera yang dikepalai suamiku. Ya, Arifin, suamiku itu, iya memang dia sangat baik dan perhatian padaku. Kamipun hidup sangat berkecukupan dengan 2 toko mas yang ada di kota Pekanbaru. Lahirlah kemudian 4 anak sebagai buah cinta kami yang semakin menambah kebahagiaan kami.
Tetapi entah apa yang terjadi, rasanya roda tiba-tiba bergulir ke arah lumpur yang hitam. Sampai saat inipun aku masih sulit untuk memahami mengapa semua berubah dengan begitu cepat. Usaha kami bangkrut. Semua dipicu oleh penipuan yang dilakukan teman suamiku. Dia mengajak berinvestasi di usaha sawit. Suamiku begitu percaya dengan temannya itu sehingga ratusan juta dia percayakan untuk diinvestasikan di bisnis ini. Tetapi apa yang terjadi? Semua lenyap begitu saja. Orang itu pergi entah kemana beserta uang investasipun raib. Belum selesai kejatuhan itu menimpa kami, salah satu pelayan toko yang bekerja di toko kamipun ternyata seorang penjahat pula. Dia mengambil uang toko dan beberapa perhiasan emas kemudian lari entah kemana. Saat itu ayahkupun sedang menderita sakit yang cukup parah. Stroke, darah tinggi, diabetes dan ginjal menggerogoti tubuhnya yang lemah. Ratusan jutapun tak cukup untuk membiayai pengobatannya yang berulang kali keluar masuk rumah sakit. Satu per satu ruko milik ayah dijual ditambah tentu uang dari aku untuk membayar biaya rumah sakitnya. Aku sedih! Saat itu hanya aku yang bisa diandalkan untuk membiayai sakitnya ayah. Walaupun aku punya dua kakak tetapi mereka tinggal jauh di Jakarta dan sepertinya berlepas diri dari masalah keluarga besarnya. Sementara dua adikku yang tinggal serumah dengan ayah, tidak bisa diandalkan secara keuangan. Merekapun hidup menumpang di rumah ayahku dan pekerjaannya membantu di toko ibuku. Ketika ruko-ruko itu dijual, otomatis dua adikku itupun menjadi pengangguran. Dan banyak lagi rentetan kejatuhan yang kualami dalam liku-liku rumah tanggaku. Rasanya saat itu segala yang kulakukan selalu berakhir dengan kegagalan dan tangisan.
Yang lebih menyakitkan, hubunganku dengan suamipun berakhir seperti neraka. Semua dipicu kondisi ekonomi yang hancur. Dulu aku terbiasa mendapatkan sesuatu dengan mudah karena banyak uang. Sekarang semuanya berbalik, segala serba kekurangan dan harus rela tinggal di rumah kecil kontrakan yang bocor ini. Aku ingin ikhlas, tetapi egoku sering mengalahkan kesabaranku. Rasanya aku tidak melihat usaha yang maksimal dari suamiku untuk mencari nafkah. Dia lebih banyak termenung di rumah memikirkan kebangkrutannya. Pertengkaran demi pertengkaran menggema di dinding kecil kamar ini setiap malam. Itulah yang sering didengar Farid dan Rara, anakku.  Akhirnya akupun mencoba melamar menjadi guru di SMPN 11. Walaupun lokasinya jauh dan gajinya kecil, setidaknya aku tidak berpangku tangan seperti suamiku. Statusku sebagai gurupun bisa aku gunakan untuk berhutang ke sana ke mari.
Aku membalikkan posisi badanku membelakangi Rayi, mencari posisi yang nyaman untuk badanku berbaring di atas kasur sempit ini. Sulit sekali untuk memejamkan mata kalau hati ini sudah menerawang kemana-mana.
Sayup-sayup aku mendengar deraian tawa dari balik dinding kamar ini. Pelan, tetapi di malam yang sunyi ini aku bisa jelas menangkap bias tawa kebahagiaan dalam deraian tawa yang renyah itu. Itu pasti suara tetangga baruku. Dinding rumah ini tipis, hanya dibatasi batako satu lapis dengan beberapa celah dan retakan di dindingnya karena pelester yang tidak sempurna sehingga sayup-sayup aku bisa mendengar kalau ada obrolan atau tawa yang cukup keras dari ruangan sebelah.  Mereka pasangan tua suami istri asal Jawa, keluarga Sadikin, yang baru pindah dua minggu yang lalu ke rumah petak di belakang dinding rumahku. Mereka hanya tinggal berdua karena anak-anaknya sudah berkeluarga dan tinggal berpisah. Aku belum sempat mengobrol banyak dengan mereka karena pagi-pagi sekali aku sudah harus berangkat ke sekolah yang memakan perjalanan 1,5 jam. Ketika pulang ke rumah di sore hari, aku tidak mendapati mereka di rumah juga karena mereka kerja menjaga toko di pasar dan baru pulang menjelang jam 11 malam. Tapi aku yakin mereka pasangan yang baik terhadapku juga terhadap anak-anakku. Disaat aku tidak di rumah, kata Rara terkadang ibu Sadikin mengirimkan makanan untuk anak-anakku dan mengajak ngobrol banyak hal. Rara sepertinya jatuh hati dengan ibu Sadikin. Katanya dia orang tua yang bijaksana dan lembut. Syukurlah, setidaknya aku memiliki tetangga yang baik sehingga aku tidak terlalu cemas meninggalkan anak-anak di rumah ketika aku bekerja.
Sayup-sayup kudengar lagi tawa mereka diselingi obrolan yang tidak jelas bagiku karena terhalang dinding kamar. Aku iri. Kapan dinding kamarku ini pernah mendengar aku tertawa lepas dan bahagia seperti itu. Mungkin yang tercatat di dinding kamarku hanya keluh kesah, kemarahan, omelan, tangisan diam-diam dan doa-doa seperlunya yang keluar dari mulutku karena kekesalan yang membuncah akan kemiskinanku. Aku bangkit dari kasurku. Rekeeett….bunyi kayu ranjangku berderit, membuat Rayi bergerak mengubah posisi tidurnya. Tapi dia tetap menutup matanya. Ranjang tua bekas ini kubeli di pasar loak dekat rumah. Aku menukar spring bed dengan ranjang ini supaya mendapat uang lebih untuk menutupi keperluan sehari-hariku. Sengaja kutempelkan telingaku di dinding kamar yang membatasi kamarku dengan kamar keluarga Sadikin. Penasaran, hanya itu yang ada di otakku. Apa sih yang membuat mereka masih terjaga di malam seperti ini dan tertawa-tawa dengan bahagia.
“Enak nih bu, rasanya kayak makanan  restoran ”, sayup-sayup kutangkap Pak Sadikin berbicara.
“Besok bikin yang lain lagi Pak, biar gak bosan “, ditimpali suara Bu Sadikin.
Sepertinya mereka sedang makan. Ya, mereka baru pulang ke rumah sekitar hampir jam 11 malam. Jadi mungkin mereka sedang melepas lelah dan bersantap malam sebelum beranjak tidur.
Aku kembali merebahkan diriku di samping Rayi. Aku ingat, setiap pagi biasanya terburu-buru memasak menyiapkan makan anak-anak sebelum pergi kerja. Sering aku lupa menyapa anak-anakku dan menanyakan kabar mereka. Apalagi memberikan senyum dan tawa di meja makan? Itu hal yang jarang sekali kulakukan, apalagi setelah perpisahan aku dan suamiku.  Ya Allah, jangan-jangan aku ini kurang bersyukur pada-Mu sehingga derita demi derita ini beruntun menimpa aku dan keluargaku. Aku memeluk Rayi dengan lembut supaya tidak mengganggu tidurnya. Bayangan-bayangan masa lalu itu masih terus berkelebat dalam otakku tetapi aku mencoba menepisnya. Aku menutup mataku kuat-kuat, berusaha untuk tidur. Suara-suara obrolan dari dindingpun sudah hilang. Mungkin mereka sudah tidur.
Aku ingin bermimpi yang indah malam ini, kalau bisa.
“Ah, akhirnya selesai juga”, aku menarik nafas lega. “Bu Nur, pulang sekarang?” aku menepuk bahu Nuraini lembut. Dia teman terdekatku di sekolah ini. Sebenarnya dia bernasib sama denganku, hanya seorang guru komite di sekolah ini tetapi dia masih lajang sehingga mungkin pendapatan kecil tidak terlalu berpengaruh baginya. Sedangkan aku, bebanku harus menanggung 4 anak dengan suami yang tidak jelas keberadaannya dan kiriman darinya yang sering telat dan kurang. Ya, mau bagaimana lagi. Sudahlah, nanti aku mulai mengeluh dan melantur ke mana-mana lagi.
“Jadi kita boleh pulang?” Nur balik bertanya kepadaku.
“Iya, kata Pak Kepala Sekolah, guru komite boleh pulang duluan. Ini rapat buat guru PNS. Ayolah, ini masih siang, lumayan bisa lebih lama bareng anak-anak”.
Akhirnya aku pulang sendiri karena Nuraini masih berurusan dengan salah satu orang tua murid yang mengadukan nilainya yang jelek di mata pelajaran yang diajarnya. Perjalanan pulangku dengan motor bebek tuaku memakan waktu 1,5 jam. Dulu tak pernah kubayangkan aku menaiki motor di antara truk-truk pengangkut sawit yang besar-besar. Awalnya akupun takut menjalani ini. Tetapi situasi keterpaksaan yang membuatku berani. Menaiki motor lebih hemat buatku dibanding naik angkutan umum. Karena posisi sekolahku terpencil aku harus naik turun 3 kali angkutan umum dengan ongkos masing-masing Rp 5000. Biaya bolak-balik rumah-sekolah menjadi Rp 30.000 per hari. Sebuah angka yang fantastis buatku jika dikalikan 1 bulan. Padahal gajiku jauh dari mencapai angka segitu. Maka, dengan segala upaya aku membeli motor tua bekas ini untuk menghemat ongkos transportasi.
Tinggal satu belokan lagi menuju rumahku. Brrmm…aku menghentikan motorku tepat di depan pintu rumahku. Ada Rayi, Rana dan Rara sedang duduk di teras depan.
“Assalamualaikum”, sapaku setelah memarkir motor dengan benar di depan rumahku.
“Waalaikumsalam….. eh Bunda pulang cepat!” Rayi tampak terkejut dan langsung menghambur menyambutku dengan makanan di mulutnya.
“Eh, Ray…habisin dulu makannya”, Rara menegur adikku.
“Makan apa Ra?” Aku menengok piring makan di depan Rara. Sepertinya itu bukan piringku.
“Ini dikasih bu Sadikin, Bunda”. Aku melihat isi piring itu. Hanya nasi putih di bentuk bulat-bulat seperti bola golf dengan taburan cabe merah disekitarnya.
“Nasi? Ada isinya?” aku bertanya penasaran.
“Iya, nasi. Gak ada isinya”. Rana mengambil satu bola nasi itu dan dimasukkan ke mulutnya. Dari ekspresinya sepertinya nasi itu enak, pikirku.
“Enak bunda, ini dikasih garam. Ada cabenya dikit tapi gak pedas”. Rayi menyela dengan mulut yang masih penuh mengunyah nasi. Di saat aku masih memperhatikan nasi itu tanpa sadar ternyata Bu Sadikin sudah berdiri di belakangku.
“Hen…tumben cepat pulang”, suaranya yang ramah membelai telingaku. Walau ini baru kali ketiga aku berjumpa dia tapi aku sudah familiar dengan intonasi suaranya lewat obrolan-obrolan tengah malam yang aku kuping lewat dinding kamarku. Senyuman kecil tidak pernah lepas dari bibirnya yang agak keriput.
“Ooh….iya, bu Sadikin. Kebetulan ada rapat guru-guru senior di sekolah, dan saya gak masuk di dalamnya, jadi saya boleh pulang”.
“Syukurlah, jadi anak-anak ada yang menemani. Iya kan Rayi?” Bu Sadikin berpaling ke Rayi yang ada di dekatnya, “Senang kan bunda ada di rumah?” Rayi mengangguk. Aku tersenyum kecil. Akupun sebenarnya senang bisa berada lebih lama di antara anak-anakku di rumah.
“Bu Sadikin, terima kasih lho, kata Rara sering kirim makanan ya”.
“Walah…ini cuma nasi aja kok Hen….tapi kalau anak-anak senang, alhamdulillah…,” jawab Bu Sadikin sambal tangannya mengelus-elus kepala Rayi yang duduk di dekatnya. “Ini makanan sehari-hari saya sama bapaknya, nasi cabe merah”. Senyuman itu tak pernah lepas menghiasi wajahnya yang tirus karena usia. Tapi kulihat secercah kedamaian di sana di saat aku memandang wajahnya.
“Tiap hari makan ini?” Aku bertanya. Pikiranku kembali melayang pada obrolan tadi malam yang kukuping dari dinding kamarku. Makan malam yang bahagia walaupun aku tidak melihat secara langsung, hanya mendengar suaranya saja. Itupun samar-samar.
“Iya…tiap hari makan ini. Kadang nasi sama kol, nasi sama timun…uenak Hen…Kalau bapak paling senengnya ini nasi cabe. Wuah…katanya mirip makanan di restoran”. Bu Sadikin tampak bersemangat menceritakan menu-menu kesukaan suaminya. Bibirnya selalu mengembangkan senyum lebar ketika bercerita. Aku tidak bisa menyangkal ada riak kebahagiaan yang tersirat dari caranya bercerita. Semuanya terlihat tulus. Rupanya hanya nasi cabe inilah yang menjadi teman obrolan bahagianya setiap malam yang kudengar lewat dinding kamarku, aku menarik nafas lega. Entah mengapa, ada bahagia yang terselip di relung hatiku ketika berbicara dengan Bu Sadikin.
Malam itu seperti biasa aku membiarkan anak-anak tidur duluan. Aku masih sibuk menyiapkan materi mengajar Bahasa Inggris untuk besok pagi. Di atas lantai yang dingin ini, walau punggungku pegal, tetap kuupayakan menyelesaikan lesson plan untuk besok supaya semua kegiatan KBM ku lancar. Huuaahh…mataku sudah mulai mengantuk tatkala samar-samar kudengar suara deritan pintu dibuka dilanjutkan dengar obrolan dua suara yang sangat kukenal, Pak dan Ibu Sadikin.  Rasa penasaran menarikku untuk bangkit dan berjalan ke arah dinding kamar yang berbatasan dengan kamar sebelah. Seperti kecanduan. Aku menempelkan telingaku di celah kecil di dinding. Tawa-tawa bahaga itu kembali membelai telingaku diselingi obrolan-obrolan ringan di antara mereka berdua.
“Pak, sebentar ibu masak ya nyiapin makan. Makanan yang tadi siang habis”.
“Tunggu Bu, Ibu pasti capek juga kan. Bapak bantu biar cepat selesai”.   
“Nasi cabe lagi Pak?”
“Iya, gak apa-apa….itu juga enak. Bapak suka”.
Sebuah obrolan yang sederhana, bahkan aku juga bisa melakukannya dengan suami atau anak-anakku. Tetapi mereka melakukannya dengan tulus. Tidak ada drama. Semua itu natural. Dalam kekurangannya, Pak dan Bu Sadikin masih bisa tersenyum dan menikmati semua yang terhidang di depannya. Ketika makanpun merekapun masih bercerita satu sama lain tentang pengalaman siang tadi. Tidak ada obrolan keras, keluh kesah, umpatan apalagi teriakan. Semuanya selalu dikomunikasikan dengan senyum dan cinta.
MashaAllah! Aku menarik nafas panjang. Dadaku serasa sesak menahan emosi jiwa. Aku teringat suamiku yang pergi ke kota sebelah. Tadinya aku berfikir dengan kepergiannya akan membawa kedamaian buat aku dan anak-anakku karena aku tidak perlu kesal, marah, mengomel dan berteriak lagi terhadapnya. Tetapi tetap saja kedamaian keluarga ini tidak kudapati. Farid yang menjadi pembangkang terhadapku. Rara yang kehilangan waktu bermainnya karena kusuruh membuat kue-kue untuk dijual, juga Rana dan Rayi yang kerap menanyakan kemana ayahnya. Suamiku ada ataupun pergi, tidak merubah kemiskinanku yang tidak mampu membayar cicilan-cicilan hutang untuk memenuhi kebutuhan rumah tanggaku. Aku jatuh miskin, iya! Dan aku juga ternyata miskin cinta! Tanpa terasa air mataku membasahi kedua pipiku. Ya, aku kehilangan dua-duanya, sehingga aku merasakan beratnya beban hidup ini.
Kututup satu per satu buku-buku pelajaran sekolah yang bertebaran di lantai. Kumasukkan ke dalam tas hijau yang biasa kupakai untuk bekerja. Mungkin ini jalan yang diberikan Allah untuk menyadarkanku. Lewat celah-celah di dinding ini aku bisa menarik banyak sekali pelajaran. Mungkin aku harus belajar ikhlas untuk menerima kenyataan akan kemiskinan ini dan belajar memaafkan serta memahami kekurangan suamiku. Sebenarnya diapun tidak ingin ada dalam kemiskinan, tetapi jalan inilah yang telah dipilih Allah untuk keluargaku. Ujian ataupun teguran sebenarnya tidak penting lagi, yang penting adalah aku harus buktikan bahwa aku bisa lulus melewatinya!
Kututup ceritaku hari ini dengan tulisan di buku catatanku, bukan di dinding kamarku lagi. If you have a family that loves you, a few good friends and a roof over your head, you are richer than you think.
PS: Untuk seorang guru komite nun jauh di pelosok Riau, pemerintah mungkin melupakanmu, tetapi Allah tidak melupakanmu. Ini hanya sebuah episode kecil, Tetaplah Berjuang!
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen “Pilih Mana: Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan oleh www.cekaja.com danNulisbuku.com.