1 Nopember bayar kontrak rumah,
5 Nop bayar listrik dan air, 10
Nop bayar iuran sekolah Rayi dan Rana,
12 Nop bayar tunggakan meja,
15 Nop bayar tunggakan buku
sekolah Farid
Dan 5 lagi tunggakan lainnya yang
menghiasi dinding kamarku.
Rasanya aku ingin menangis
sekeras-kerasnya menumpahkan kesedihan bercampur kekesalan di hati ini. Sedih,
karena aku sepertinya tidak bisa memenuhi kewajibanku sebagai orang tua yang bisa
memenuhi kebutuhan anak-anakku. Kesal, karena semua kekacauan yang terjadi
mungkin atas kesalahanku dan suamiku yang tidak mampu mengontrol ego masing-masing.
Parahnya lagi, sampai saat ini aku tidak bisa mencari solusi terbaik untuk
semua masalah ini.
Aku membelai lembut kepala mungil Rayi dan
Rana. Diujung tempat tidurku, Rara, anak ketigaku yang mulai remaja juga sudah
terlelap kecapaian. Sepulang sekolah, dia harus membuat kue-kue untuk dijual di
toko neneknya supaya bisa mendapat uang untuk membantu keuangan rumah tanggaku
yang tidak sempurna ini.
Sejak aku pindah ke rumah kontrakan
kecil ini aku tidur sekamar dengan mereka. Dan Farid, anak bujangku, karena
sudah remaja tidur di kamarnya sendiri. Dua anakku yang masih kecil ini tidak
tahu masalah yang kuhadapi dengan ayah mereka. Mereka masih sering menanyakan kemana gerangan ayahnya pergi. Aku sudah terbiasa menjelaskan pada mereka bahwa ayahnya sibuk bekerja di kota lain. Ya, aku membangun kebohongan di depan mereka, bahkan dihiasi senyuman agar meyakinkan dan tidak membuat mereka sedih. Biasanya hanya Rara, anak gadisku no 2 yang tahun ini akan masuk SMA, yang menjadi tempat curahan kegundahan hatiku. Hampir tidak ada yang kusembunyikan darinya. Sedangkan Farid, walaupun dia anakku yang paling besar, tapi aku sering merasa ditinggalkan oleh dia. Mungkin dia kecewa atas perpisahanku dengan suamiku. Dia kecewa dengan pertengkaran demi pertengkaran yang terjadi di hadapan dia di sela-sela malam yang sunyi sekalipun. Diapun kecewa ketika akhirnya suamiku pergi untuk bekerja di kota lain untuk menghindari pertengkaran yang semakin hebat denganku. Terkadang aku merasa disalahkan olehnya karena semua kekacauan ini. Aku yang kurang sabar, aku yang terlalu cerewet, aku yang terlalu menuntut dan masih banyak lagi hal yang dia sematkan pada diriku sebagai bentuk pembangkangannya ketika aku menasehatinya untuk hal-hal kecil sebagai ibunya.
tahu masalah yang kuhadapi dengan ayah mereka. Mereka masih sering menanyakan kemana gerangan ayahnya pergi. Aku sudah terbiasa menjelaskan pada mereka bahwa ayahnya sibuk bekerja di kota lain. Ya, aku membangun kebohongan di depan mereka, bahkan dihiasi senyuman agar meyakinkan dan tidak membuat mereka sedih. Biasanya hanya Rara, anak gadisku no 2 yang tahun ini akan masuk SMA, yang menjadi tempat curahan kegundahan hatiku. Hampir tidak ada yang kusembunyikan darinya. Sedangkan Farid, walaupun dia anakku yang paling besar, tapi aku sering merasa ditinggalkan oleh dia. Mungkin dia kecewa atas perpisahanku dengan suamiku. Dia kecewa dengan pertengkaran demi pertengkaran yang terjadi di hadapan dia di sela-sela malam yang sunyi sekalipun. Diapun kecewa ketika akhirnya suamiku pergi untuk bekerja di kota lain untuk menghindari pertengkaran yang semakin hebat denganku. Terkadang aku merasa disalahkan olehnya karena semua kekacauan ini. Aku yang kurang sabar, aku yang terlalu cerewet, aku yang terlalu menuntut dan masih banyak lagi hal yang dia sematkan pada diriku sebagai bentuk pembangkangannya ketika aku menasehatinya untuk hal-hal kecil sebagai ibunya.
Aku hanya seorang guru komite dari
sebuah SMP yang berlokasi nun jauh di sana, di pelosok Riau. Sangat
terpelosoknya sehingga banyak orang tidak mengenali sekolah tempatku mengajar
dan bertanya, dimana sih itu SMP Negeri 11 itu? Sekolah itu memang cukup
terpencil, berada di antara perkebunan sawit di pedalaman Riau. Hampir 50%
anak-anak yang bersekolah di situ adalah anak-anak suku pedalaman Sakai sehingga
makin menambah beban beratnya mengajar bagiku. Aku harus berjibaku tidak hanya
dengan materi sekolah tetapi juga terkadang bertengkar dengan orang tua murid
agar mereka sadar betapa pentingnya pendidikan untuk anak-anak mereka. Kebanyakan dari mereka masih berfikiran
sempit; untuk apa sekolah katanya, toh setelah lulus juga gak dapat kerja!
Mending bantu orang tua di kebun sawit. Jangan tanya berapa gajiku per bulan
dari mengajar. Pasti tidak ada seorangpun yang mau tahu karena setelah kuberi
tahu pasti akan timbul rasa kasihan terhadapku. Kok bisa ya dengan gaji segitu
menghidupi 4 anak? Aku hanya tersenyum menghadapi pertanyaan seperti itu untuk
menunjukkan bahwa aku masih kuat dan belum kalah. Sedih dan pedih!
Kutatap langit-langit kamarku yang
mulai menghitam karena sudah lama tidak disentuh cat warna. Ya, aku menyewa
rumah yang sangat murah sehingga keadaannyapun seadanya; lantai semen, tanpa
perabotan dan cat dinding yang pudar bahkan di beberapa bagian semen
pelesternya sudah mengelupas sehingga tampak susunan batu bata yang mendirikan
bangunan rumah ini. Tapi masih untung rumah ini punya sumber air yang bagus.
Sebuah sumur gali dibuat di halaman belakang rumah ini dengan debit air yang
cukup dan jernih. Di daerah sini adalah suatu hal yang susah mendapatkan sumber
air bersih. Maklum disini daerah ladang minyak bumi, sehingga menemukan minyak
lebih mudah dibanding menemukan air bersih. Biasanya sumur warga kotor terkena
rembesan minyak bumi dari akifer sekitarnya. Walaupun kalau di musim kemarau,
ya sama saja dengan para tetangga, airnya surut sehingga aku dan anak-anak
harus mandi dan mencuci pakaian ke kamar mandi umum yang disediakan oleh
perusahaan minyak itu untuk warga sekitar.
Detak jam dinding terdengar keras
di malam yang sepi ini. Bunyinya seirama bersahutan dengan degup jantungku yang
mengisyaratkan kegelisahan hati ini. Pikiranku menerawang seakan jarum jam itu
bergerak mundur ke arah sebaliknya. Masih kuingat saat-saat bahagia itu. Indah…ataukah
keindahan yang semu? Selepas lulus kuliah aku langsung menerima lamaran seorang
pemuda yang ternyata masih saudara jauhku. Almarhum ayahku yang begitu antusias
menerima lamaran pemuda itu dengan alasan dia pemuda yang baik dan hidupnya
sudah mapan.
“Jangan menolak lamaran orang baik,
Hen. Dia baik dan sudah mapan lagi. Mau cari yang gimana lagi, udah terima
saja”, itu nasehat ayahku yang masih kuingat.
Tanpa banyak berargumen, akupun
setuju dengan ayahku. Aku memang bukan tipe wanita yang pelik untuk urusan cinta.
Betul kata ayah, kalau ada yang baik, mapan secara ekonomi….ditambah ganteng
pula, ya sudah nikah saja. Semuanya berjalan alami begitu saja. Aku mengikuti
aliran sungai dengan bahtera yang dikepalai suamiku. Ya, Arifin, suamiku itu,
iya memang dia sangat baik dan perhatian padaku. Kamipun hidup sangat
berkecukupan dengan 2 toko mas yang ada di kota Pekanbaru. Lahirlah kemudian 4
anak sebagai buah cinta kami yang semakin menambah kebahagiaan kami.
Tetapi entah apa yang terjadi,
rasanya roda tiba-tiba bergulir ke arah lumpur yang hitam. Sampai saat inipun
aku masih sulit untuk memahami mengapa semua berubah dengan begitu cepat. Usaha
kami bangkrut. Semua dipicu oleh penipuan yang dilakukan teman suamiku. Dia
mengajak berinvestasi di usaha sawit. Suamiku begitu percaya dengan temannya
itu sehingga ratusan juta dia percayakan untuk diinvestasikan di bisnis ini.
Tetapi apa yang terjadi? Semua lenyap begitu saja. Orang itu pergi entah kemana
beserta uang investasipun raib. Belum selesai kejatuhan itu menimpa kami, salah
satu pelayan toko yang bekerja di toko kamipun ternyata seorang penjahat pula.
Dia mengambil uang toko dan beberapa perhiasan emas kemudian lari entah kemana.
Saat itu ayahkupun sedang menderita sakit yang cukup parah. Stroke, darah
tinggi, diabetes dan ginjal menggerogoti tubuhnya yang lemah. Ratusan jutapun
tak cukup untuk membiayai pengobatannya yang berulang kali keluar masuk rumah
sakit. Satu per satu ruko milik ayah dijual ditambah tentu uang dari aku untuk
membayar biaya rumah sakitnya. Aku sedih! Saat itu hanya aku yang bisa
diandalkan untuk membiayai sakitnya ayah. Walaupun aku punya dua kakak tetapi
mereka tinggal jauh di Jakarta dan sepertinya berlepas diri dari masalah
keluarga besarnya. Sementara dua adikku yang tinggal serumah dengan ayah, tidak
bisa diandalkan secara keuangan. Merekapun hidup menumpang di rumah ayahku dan
pekerjaannya membantu di toko ibuku. Ketika ruko-ruko itu dijual, otomatis dua
adikku itupun menjadi pengangguran. Dan banyak lagi rentetan kejatuhan yang
kualami dalam liku-liku rumah tanggaku. Rasanya saat itu segala yang kulakukan
selalu berakhir dengan kegagalan dan tangisan.
Yang lebih menyakitkan, hubunganku
dengan suamipun berakhir seperti neraka. Semua dipicu kondisi ekonomi yang
hancur. Dulu aku terbiasa mendapatkan sesuatu dengan mudah karena banyak uang.
Sekarang semuanya berbalik, segala serba kekurangan dan harus rela tinggal di
rumah kecil kontrakan yang bocor ini. Aku ingin ikhlas, tetapi egoku sering
mengalahkan kesabaranku. Rasanya aku tidak melihat usaha yang maksimal dari
suamiku untuk mencari nafkah. Dia lebih banyak termenung di rumah memikirkan
kebangkrutannya. Pertengkaran demi pertengkaran menggema di dinding kecil kamar
ini setiap malam. Itulah yang sering didengar Farid dan Rara, anakku. Akhirnya akupun mencoba melamar menjadi guru
di SMPN 11. Walaupun lokasinya jauh dan gajinya kecil, setidaknya aku tidak
berpangku tangan seperti suamiku. Statusku sebagai gurupun bisa aku gunakan
untuk berhutang ke sana ke mari.
Aku membalikkan posisi badanku
membelakangi Rayi, mencari posisi yang nyaman untuk badanku berbaring di atas
kasur sempit ini. Sulit sekali untuk memejamkan mata kalau hati ini sudah
menerawang kemana-mana.
Sayup-sayup aku mendengar deraian
tawa dari balik dinding kamar ini. Pelan, tetapi di malam yang sunyi ini aku
bisa jelas menangkap bias tawa kebahagiaan dalam deraian tawa yang renyah itu. Itu
pasti suara tetangga baruku. Dinding rumah ini tipis, hanya dibatasi batako
satu lapis dengan beberapa celah dan retakan di dindingnya karena pelester yang
tidak sempurna sehingga sayup-sayup aku bisa mendengar kalau ada obrolan atau
tawa yang cukup keras dari ruangan sebelah. Mereka pasangan tua suami istri asal Jawa,
keluarga Sadikin, yang baru pindah dua minggu yang lalu ke rumah petak di
belakang dinding rumahku. Mereka hanya tinggal berdua karena anak-anaknya sudah
berkeluarga dan tinggal berpisah. Aku belum sempat mengobrol banyak dengan
mereka karena pagi-pagi sekali aku sudah harus berangkat ke sekolah yang
memakan perjalanan 1,5 jam. Ketika pulang ke rumah di sore hari, aku tidak
mendapati mereka di rumah juga karena mereka kerja menjaga toko di pasar dan
baru pulang menjelang jam 11 malam. Tapi aku yakin mereka pasangan yang baik
terhadapku juga terhadap anak-anakku. Disaat aku tidak di rumah, kata Rara
terkadang ibu Sadikin mengirimkan makanan untuk anak-anakku dan mengajak
ngobrol banyak hal. Rara sepertinya jatuh hati dengan ibu Sadikin. Katanya dia
orang tua yang bijaksana dan lembut. Syukurlah, setidaknya aku memiliki
tetangga yang baik sehingga aku tidak terlalu cemas meninggalkan anak-anak di
rumah ketika aku bekerja.
Sayup-sayup kudengar lagi tawa
mereka diselingi obrolan yang tidak jelas bagiku karena terhalang dinding kamar.
Aku iri. Kapan dinding kamarku ini pernah mendengar aku tertawa lepas dan bahagia
seperti itu. Mungkin yang tercatat di dinding kamarku hanya keluh kesah, kemarahan,
omelan, tangisan diam-diam dan doa-doa seperlunya yang keluar dari mulutku
karena kekesalan yang membuncah akan kemiskinanku. Aku bangkit dari kasurku.
Rekeeett….bunyi kayu ranjangku berderit, membuat Rayi bergerak mengubah posisi
tidurnya. Tapi dia tetap menutup matanya. Ranjang tua bekas ini kubeli di pasar
loak dekat rumah. Aku menukar spring bed dengan ranjang ini supaya mendapat
uang lebih untuk menutupi keperluan sehari-hariku. Sengaja kutempelkan
telingaku di dinding kamar yang membatasi kamarku dengan kamar keluarga
Sadikin. Penasaran, hanya itu yang ada di otakku. Apa sih yang membuat mereka
masih terjaga di malam seperti ini dan tertawa-tawa dengan bahagia.
“Enak nih bu, rasanya kayak
makanan restoran ”, sayup-sayup
kutangkap Pak Sadikin berbicara.
“Besok bikin yang lain lagi Pak,
biar gak bosan “, ditimpali suara Bu Sadikin.
Sepertinya mereka sedang makan. Ya,
mereka baru pulang ke rumah sekitar hampir jam 11 malam. Jadi mungkin mereka
sedang melepas lelah dan bersantap malam sebelum beranjak tidur.
Aku kembali
merebahkan diriku di samping Rayi. Aku ingat, setiap pagi biasanya terburu-buru
memasak menyiapkan makan anak-anak sebelum pergi kerja. Sering aku lupa menyapa
anak-anakku dan menanyakan kabar mereka. Apalagi memberikan senyum dan tawa di
meja makan? Itu hal yang jarang sekali kulakukan, apalagi setelah perpisahan
aku dan suamiku. Ya Allah, jangan-jangan
aku ini kurang bersyukur pada-Mu sehingga derita demi derita ini beruntun
menimpa aku dan keluargaku. Aku memeluk Rayi dengan lembut supaya tidak
mengganggu tidurnya. Bayangan-bayangan masa lalu itu masih terus berkelebat
dalam otakku tetapi aku mencoba menepisnya. Aku menutup mataku kuat-kuat,
berusaha untuk tidur. Suara-suara obrolan dari dindingpun sudah hilang. Mungkin
mereka sudah tidur.
Aku
ingin bermimpi yang indah malam ini, kalau bisa.
“Ah, akhirnya selesai juga”, aku
menarik nafas lega. “Bu Nur, pulang sekarang?” aku menepuk bahu Nuraini lembut.
Dia teman terdekatku di sekolah ini. Sebenarnya dia bernasib sama denganku,
hanya seorang guru komite di sekolah ini tetapi dia masih lajang sehingga
mungkin pendapatan kecil tidak terlalu berpengaruh baginya. Sedangkan aku,
bebanku harus menanggung 4 anak dengan suami yang tidak jelas keberadaannya dan
kiriman darinya yang sering telat dan kurang. Ya, mau bagaimana lagi. Sudahlah,
nanti aku mulai mengeluh dan melantur ke mana-mana lagi.
“Jadi kita boleh pulang?” Nur balik
bertanya kepadaku.
“Iya, kata Pak Kepala Sekolah, guru
komite boleh pulang duluan. Ini rapat buat guru PNS. Ayolah, ini masih siang,
lumayan bisa lebih lama bareng anak-anak”.
Akhirnya aku pulang sendiri karena Nuraini
masih berurusan dengan salah satu orang tua murid yang mengadukan nilainya yang
jelek di mata pelajaran yang diajarnya. Perjalanan pulangku dengan motor bebek
tuaku memakan waktu 1,5 jam. Dulu tak pernah kubayangkan aku menaiki motor di
antara truk-truk pengangkut sawit yang besar-besar. Awalnya akupun takut menjalani
ini. Tetapi situasi keterpaksaan yang membuatku berani. Menaiki motor lebih
hemat buatku dibanding naik angkutan umum. Karena posisi sekolahku terpencil
aku harus naik turun 3 kali angkutan umum dengan ongkos masing-masing Rp 5000.
Biaya bolak-balik rumah-sekolah menjadi Rp 30.000 per hari. Sebuah angka yang
fantastis buatku jika dikalikan 1 bulan. Padahal gajiku jauh dari mencapai
angka segitu. Maka, dengan segala upaya aku membeli motor tua bekas ini untuk
menghemat ongkos transportasi.
Tinggal satu belokan lagi menuju
rumahku. Brrmm…aku menghentikan motorku tepat di depan pintu rumahku. Ada Rayi,
Rana dan Rara sedang duduk di teras depan.
“Assalamualaikum”, sapaku setelah
memarkir motor dengan benar di depan rumahku.
“Waalaikumsalam….. eh Bunda pulang
cepat!” Rayi tampak terkejut dan langsung menghambur menyambutku dengan makanan
di mulutnya.
“Eh, Ray…habisin dulu makannya”,
Rara menegur adikku.
“Makan apa Ra?” Aku menengok piring
makan di depan Rara. Sepertinya itu bukan piringku.
“Ini dikasih bu Sadikin, Bunda”.
Aku melihat isi piring itu. Hanya nasi putih di bentuk bulat-bulat seperti bola
golf dengan taburan cabe merah disekitarnya.
“Nasi? Ada isinya?” aku bertanya penasaran.
“Iya, nasi. Gak ada isinya”. Rana
mengambil satu bola nasi itu dan dimasukkan ke mulutnya. Dari ekspresinya
sepertinya nasi itu enak, pikirku.
“Enak bunda, ini dikasih garam. Ada
cabenya dikit tapi gak pedas”. Rayi menyela dengan mulut yang masih penuh mengunyah
nasi. Di saat aku masih memperhatikan nasi itu tanpa sadar ternyata Bu Sadikin
sudah berdiri di belakangku.
“Hen…tumben cepat pulang”, suaranya
yang ramah membelai telingaku. Walau ini baru kali ketiga aku berjumpa dia tapi
aku sudah familiar dengan intonasi suaranya lewat obrolan-obrolan tengah malam
yang aku kuping lewat dinding kamarku. Senyuman kecil tidak pernah lepas dari
bibirnya yang agak keriput.
“Ooh….iya, bu Sadikin. Kebetulan ada
rapat guru-guru senior di sekolah, dan saya gak masuk di dalamnya, jadi saya boleh
pulang”.
“Syukurlah, jadi anak-anak ada yang
menemani. Iya kan Rayi?” Bu Sadikin berpaling ke Rayi yang ada di dekatnya, “Senang
kan bunda ada di rumah?” Rayi mengangguk. Aku tersenyum kecil. Akupun
sebenarnya senang bisa berada lebih lama di antara anak-anakku di rumah.
“Bu Sadikin, terima kasih lho, kata
Rara sering kirim makanan ya”.
“Walah…ini cuma nasi aja kok Hen….tapi
kalau anak-anak senang, alhamdulillah…,” jawab Bu Sadikin sambal tangannya
mengelus-elus kepala Rayi yang duduk di dekatnya. “Ini makanan sehari-hari saya
sama bapaknya, nasi cabe merah”. Senyuman itu tak pernah lepas menghiasi
wajahnya yang tirus karena usia. Tapi kulihat secercah kedamaian di sana di saat
aku memandang wajahnya.
“Tiap hari makan ini?” Aku
bertanya. Pikiranku kembali melayang pada obrolan tadi malam yang kukuping dari
dinding kamarku. Makan malam yang bahagia walaupun aku tidak melihat secara
langsung, hanya mendengar suaranya saja. Itupun samar-samar.
“Iya…tiap hari makan ini. Kadang nasi
sama kol, nasi sama timun…uenak Hen…Kalau bapak paling senengnya ini nasi cabe.
Wuah…katanya mirip makanan di restoran”. Bu Sadikin tampak bersemangat
menceritakan menu-menu kesukaan suaminya. Bibirnya selalu mengembangkan senyum
lebar ketika bercerita. Aku tidak bisa menyangkal ada riak kebahagiaan yang tersirat
dari caranya bercerita. Semuanya terlihat tulus. Rupanya hanya nasi cabe inilah
yang menjadi teman obrolan bahagianya setiap malam yang kudengar lewat dinding
kamarku, aku menarik nafas lega. Entah mengapa, ada bahagia yang terselip di
relung hatiku ketika berbicara dengan Bu Sadikin.
Malam itu seperti biasa aku
membiarkan anak-anak tidur duluan. Aku masih sibuk menyiapkan materi mengajar Bahasa
Inggris untuk besok pagi. Di atas lantai yang dingin ini, walau punggungku pegal,
tetap kuupayakan menyelesaikan lesson plan untuk besok supaya semua kegiatan KBM
ku lancar. Huuaahh…mataku sudah mulai mengantuk tatkala samar-samar kudengar suara
deritan pintu dibuka dilanjutkan dengar obrolan dua suara yang sangat kukenal,
Pak dan Ibu Sadikin. Rasa penasaran
menarikku untuk bangkit dan berjalan ke arah dinding kamar yang berbatasan
dengan kamar sebelah. Seperti kecanduan. Aku menempelkan telingaku di celah
kecil di dinding. Tawa-tawa bahaga itu kembali membelai telingaku diselingi
obrolan-obrolan ringan di antara mereka berdua.
“Pak, sebentar ibu masak ya nyiapin
makan. Makanan yang tadi siang habis”.
“Tunggu Bu, Ibu pasti capek juga
kan. Bapak bantu biar cepat selesai”.
“Nasi cabe lagi Pak?”
“Iya, gak apa-apa….itu juga enak.
Bapak suka”.
Sebuah obrolan yang sederhana,
bahkan aku juga bisa melakukannya dengan suami atau anak-anakku. Tetapi mereka
melakukannya dengan tulus. Tidak ada drama. Semua itu natural. Dalam
kekurangannya, Pak dan Bu Sadikin masih bisa tersenyum dan menikmati semua yang
terhidang di depannya. Ketika makanpun merekapun masih bercerita satu sama lain
tentang pengalaman siang tadi. Tidak ada obrolan keras, keluh kesah, umpatan
apalagi teriakan. Semuanya selalu dikomunikasikan dengan senyum dan cinta.
MashaAllah! Aku menarik nafas
panjang. Dadaku serasa sesak menahan emosi jiwa. Aku teringat suamiku yang
pergi ke kota sebelah. Tadinya aku berfikir dengan kepergiannya akan membawa
kedamaian buat aku dan anak-anakku karena aku tidak perlu kesal, marah,
mengomel dan berteriak lagi terhadapnya. Tetapi tetap saja kedamaian keluarga
ini tidak kudapati. Farid yang menjadi pembangkang terhadapku. Rara yang
kehilangan waktu bermainnya karena kusuruh membuat kue-kue untuk dijual, juga
Rana dan Rayi yang kerap menanyakan kemana ayahnya. Suamiku ada ataupun pergi,
tidak merubah kemiskinanku yang tidak mampu membayar cicilan-cicilan hutang
untuk memenuhi kebutuhan rumah tanggaku. Aku jatuh miskin, iya! Dan aku juga
ternyata miskin cinta! Tanpa terasa air mataku membasahi kedua pipiku. Ya, aku
kehilangan dua-duanya, sehingga aku merasakan beratnya beban hidup ini.
Kututup satu per satu buku-buku
pelajaran sekolah yang bertebaran di lantai. Kumasukkan ke dalam tas hijau yang
biasa kupakai untuk bekerja. Mungkin ini jalan yang diberikan Allah untuk
menyadarkanku. Lewat celah-celah di dinding ini aku bisa menarik banyak sekali
pelajaran. Mungkin aku harus belajar ikhlas untuk menerima kenyataan akan
kemiskinan ini dan belajar memaafkan serta memahami kekurangan suamiku. Sebenarnya
diapun tidak ingin ada dalam kemiskinan, tetapi jalan inilah yang telah dipilih
Allah untuk keluargaku. Ujian ataupun teguran sebenarnya tidak penting lagi,
yang penting adalah aku harus buktikan bahwa aku bisa lulus melewatinya!
Kututup ceritaku hari ini dengan
tulisan di buku catatanku, bukan di dinding kamarku lagi. If you have a
family that loves you, a few good friends and a roof over your head, you are
richer than you think.
PS: Untuk
seorang guru komite nun jauh di pelosok Riau, pemerintah mungkin melupakanmu,
tetapi Allah tidak melupakanmu. Ini hanya sebuah episode kecil, Tetaplah Berjuang!
Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis
Cerpen “Pilih Mana: Cinta Atau Uang?” #KeputusanCerdas yang diselenggarakan
oleh www.cekaja.com danNulisbu ku.com.